Selasa, 20 Juli 2010

Sebuah Esai



Pemabuk, Kebenaran, dan Kiblat

Selasa, 20 Juli 2010 10:04:09 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan
Jember (beritajatim.com) - Seorang kawan menulis di laman Facebook soal revisi arah kiblat oleh Majelis Ulama Indonesia: adakah ini pesanan dari para juragan toko bahan bangunan, karena dengan revisi itu akan banyak takmir harus merehab ulang arah masjid mereka.

Saya percaya, kawan saya itu tengah bercanda. Saya juga tak tahu, seberapa rajinkah ia bersembahyang lima kali sehari. Namun setidaknya mungkin ia ingin meledek sebuah otoritas yang mengeluarkan seruan tentang mana yang boleh, mana yang tidak. Fatwa tentang mana yang sakral, mana yang profan: sebuah ledekan, bahwa produsen tafsir kebenaran bisa saja keliru. Dan kebenaran bisa datang dari mana saja.

Kebenaran bisa datang dari mana saja?

Suatu hari, datanglah di sebuah kampung yang damai, seorang pemabuk bernama Zulfikar Baharuddin. Ia kelasi yang baru turun dari kapal yang tengah membuang sauh. Botol minuman (entah itu arak, ciu, atau air api dari Eropa) ia tenteng dengan enteng.

"Nama awak Baha'," kata dia dengan logat Melayu kental.

Bagi orang kampung yang tertib, Baha' adalah ancaman bagi ketertiban order di sana. Dengan bau alkohol 40 persen menyembur dari mulutnya, ia memasuki sebuah musola kecil dan tertawa-tawa menyindir kedunguan sang marbot.

Baha' datang tidak dengan ayat-ayat maupun kitab. Ia datang dengan sepotong kompas. Dan berikutnya semua orang di kampung itu tahu: arah kiblat musola mereka bertahun-tahun telah salah arah.

Kampung itu gempar. Sang marbot tua jengkel tiada kepalang, karena selama ini ia bersembahyang tidak ke arah Kabah. Ia curiga, kiblat mereka selama ini menghadap ke stadion klub sepakbola Inggris, Manchester United.

Para petinggi kampung yang dulunya memimpin proyek pembangunan musola hanya bisa melongo, karena tak akurat. Namun mereka juga tersinggung, mengapa kebenaran itu datang dari seorang kelasi teler macam Baharuddin.

Saya mengutip cerita di atas dari sinetron Para Pencari Tuhan yang digarap Deddy Mizwar. Dalam film itu, Deddy berperan sebagai marbot tua yang kaya dengan kebijaksanaan karena ditempa oleh hidup, bukan oleh doktrin dan tafsir beku. Dan sang marbot pula yang mengingatkan kepada para orang kampung: kebenaran bisa berasal dari mana saja.

Dalam sejarah peradaban, pada akhirnya kebenaran adalah konsensus tentang bagaimana kita memandang dunia. Namun dunia adalah komik tragis: di mana pada akhirnya monopoli kebenaran membuat para pemegang otoritas, para inkuisitor, mengejar mereka yang berbeda dengan pedang terhunus: bumi itu bulat, pada akhirnya kita tahu inilah kebenaran itu, setelah bertahun-tahun gereja menganggap bumi seperti meja datar, setelah mereka yang menentang gereja Eropa Abad Pertengahan mati di arena eksekusi.

Kebenaran bisa berasal dari mana saja. Saya merasa itu klise yang pahit. [wir]

Tidak ada komentar: