Minggu, 02 September 2007

Sejarah, Kehormatan dan Keberadaan Makam
(Sebuah Catatan Pengantar )



Tantangan terbesar yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern adalah menghilangnya nilai-nilai identitas. Ini suatu proses yang alamiah, jika kita mampu mencermati realita yang ada.

Pertama, “menjadi modern” membawa konsekuensi semakin kaburnya batasan antar manusia. Manusia, tanpa membedakan suku, ras dan agama, bisa saling berkomunikasi tanpa hambatan apapun. Dalam hal ini orang sudah tak lagi memandang ikatan-ikatan tersebut. Orang dalam bermasyarakat, lebih memandang ikatan kepentinganlah yang paling sesuai.

- Kedua, keluarga sebagai ikatan emosional dan primordial yang terkecil mulai kehilangan fungsinya sebagai perekat. Ini bisa saja terjadi, jika antar anggota keluarga jarang saling berkomunikasi dan tidak memiliki persamaan pandangan. Jika kita menggunakan bahasa Islami, tali silaturrahmi yang renggang menyebabkan tak berfungsinya keluarga ini, tak terkecuali dalam sebuah keluarga besar.

Salah satu faktor utama yang menghapus ikatan primordial keluarga dalam hidup manusia, adalah mulai dilupakannya sejarah. Sebagian besar dari kita sudah mulai melupakan sejarah kita sendiri. Kerap kali kita menganggap remeh dan kesulitan untuk menjawab—pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: “Siapakah kita?”, “Dari mana asal-usul kita?”, “Bagaimana kita ada?”, “Bagaimana kita dan keluarga kita dibesarkan?”.

Kita sering berpendapat bahwa masa lalu adalah sesuatu yang tak perlu dikenang, kecuali yang berkait langsung dengan kepentingan pribadi kita. Suatu pandangan yang naif bila mendasarkan semua pada kepentingan belaka. Akibatnya, kita tidak bisa menghargai apa arti perjuangan masa lalu, dan mulailah kita kehilangan salah satu nilai kemanusiaan dalam diri ini.

Banjarsari, suka atau tidak, adalah sejarah kita. Sengaja dilupakan atau tidak, ia adalah bagian dari hidup kita. Manusia tidak bisa lepas dari masa lalunya. Dan kita sekarang, salah satunya, dibentuk oleh masa lalu itu. Banjarsari ikut membentuk ikatan darah primordial kita, terlepas dari kita lahir di sini atau tidak. Juga terlepas dari kita pernah mengunjunginya atau tidak.

Ketika Kyai Muhammad bin Umar meretas keberadaan Banjarsari pertama kali pada 240 tahun yang lalu, mulailah cerita sejarah keluarga besar kita diguratkan. Berawal dari beliau menerima hadiah dari Kasultanan Mataram atas jasa beliau berhasil meredakan pembrontakan yang dilakukan oleh Pangeran Singosari (Malang). Hadiah tersebut berupa tanah yang harus dibabat sendiri oleh beliau. Lahirlah desa perdikan kecil ini, Banjarsari. Dari sinilah lahir sebuah keluarga besar dengan nilai-nilai identitas yang khas. Nilai-nilai identitas yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai moral luhur religius (keagamaan), yang diwariskan kepada anggota keluarganya secara turun-temurun. Nilai identitas ini adalah kekuatan mengakar, yang sadar atau tidak, banyak mempengaruhi perilaku hidup kita di masyarakat.

Kyai Muhammad bin Umar memang bukan sekedar pionir (pemrakarsa) fisik, tapi juga pionir spiritual. Beliau tidak hanya membangun tempat tinggal bagi kelompok masyarakatnya tetapi juga bagi masyarakat masa depan yang apik dan rapih. Tidak hanya memberikan warisan harta benda berupa desa Banjarsari saja. Lebih dari itu, beliau telah mewariskan Islam, agama yang tak ternilai harganya bagi kita semua, bekal menuju kampung akhirat.

Beliau membangun dan memberikan pondasi Agama Islam yang kita imani sekarang, dengan membangun Pondok Pesantren yang menampung ± 1000 orang santri. Nilai spiritual yang hingga kini tetap kita yakini sebagai jarum petunjuk arah langkah kehidupan kita. Nilai-nilai inilah yang terus hidup dan membesarkan generasi-generasi baru yang sedikit banyak ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini.

Kyai Muhammad bin Umar memang telah lama terkubur di bawah tanah. Beliau kini, mungkin, hanyalah sebuah nama masa lalu yang tenggelam di antara sekian nama besar dan nama baru. Makam beliau kini mengalami kerusakan berat dan nyaris tak terurus. Tragis, bila kita mengingat besarnya jasa beliau yang telah membuka/membabad hutan membangun sebuah desa Islami, desa perdikan Banjarsari.


Dan, suka atau tidak, juga mulai menghilang dari benak kita, cucu-cicit beliau. Ironis ! Akankah falsafah hidup “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero” hilang ditelan kehidupan modern. Islam tidak mengajarkan demikian. Pada setiap selesai sholat kita disunnahkan mendoa bagi leluhur dan para syuhada, saudara se-agama dan se-iman.

Bung Karno pernah wanti-wanti agar selalu ingat sejarah. Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ucapan beliau benar adanya, karena tanpa itu, nilai-nilai identitas yang telah dengan susah payah dibangun dan diwariskan akan kehilangan maknanya. Sekian. (*)