Senin, 26 Januari 2009

Oryza Bercerita


Cerita tentang Waktu

Saya menghabiskan malam tahun baru di Rumah Sakit dr. Sutomo Surabaya. Tiduran di atas selembar tikar di sisi selasar rumah sakit, saya tengah menanti ayah saya yang baru saja dioperasi jantung.

Sore hari hujan deras. Malam, saat hujan reda, saya mendengar kegaduhan di jalan raya. Suara sepeda motor yang berkonvoi dengan saringan knalpot yang dicopot memekakkan telinga. Saya membayangkan asap tebal di jalanan. Suara terompet, lalu beberapa kali terdengar sirene mobil patroli polisi.

Tak ada yang berubah setiap malam pergantian tahun. Ritual yang itu-itu saja: meniup terompet, meletuskan petasan, berkonvoi keliling kota, kembang api. Perayaan tahun baru tak ubahnya ritual agama kebudayaan pop.

Waktu memang selalu misterius. Kita lega tahun berganti, waktu berubah, hitungan kembali dari angka satu bulan satu. Seolah tahun kemarin adalah beban, dan awal selalu dikaitkan dengan harapan yang diperbarui.

Waktu selalu misterius. Saat zaman belum menemukan angka, manusia hanya mengenal siang dan malam sebagai penanda pergantian waktu. Manusia hidup samadya saja.

Namun saat waktu diangkakan, hidup manusia seolah dipercepat dan digelisahkan oleh target-target, sasaran-sasaran. Hidup kita tak lebih dari angka-angka: tanggal lahir, bulan, tahun, jam, menit, detik. Kecepatan menjadi Tuhan baru. Apa yang cepat dianggap baik: lulus cepat, kerja cepat, proyek selesai lebih cepat. Mungkin hanya cepat tua yang tak diharapkan.

Kita hidup dalam waktu yang tergese-gesa. Bahkan kita terlampau tergesa hanya untuk menanti lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi hijau. Menanti 30 detik lampu merah rasanya berjam-jam.

Inilah kompetisi abad modern yang melampaui waktu. Hidup bersama waktu tak ubahnya hidup dalam sebuah olimpiade.

Lantas apakah yang akan menghentikan kita?

Kamis dinihari, 1 Januari 2009, saya dibangunkan oleh jeritan tangis perempuan. Masih pukul 01.32. Saya melihat seorang perempuan muda menangis hebat, dan tengah ditenangkan perempuan yang tampaknya lebih tua.

Saya mencerna: Ibu perempuan muda itu meninggal, setelah menjalani operasi jantung.

Beberapa orang yang tidur di lorong rumah sakit ikut terbangun. Tak ada yang bisa diperbuat. Perempuan muda itu pingsan.

Saya mendadak merasa kosong. Ketergesa-gesaan menjadi tak berarti. Saya teringat syair lagu kelompok musik kesukaan saya, Padi.

"Bukankah hidup hanya perhentian. Tak harus kencang terus berlari. kuhelakan nafas panjang tuk siap berlari kembali."

Selamat tahun baru 2009. (*)

0 comments:


04 January 2009

Bapak sudah Pulang ke Rumah

Bapakku sudah sehat lagi dan pulang ke rumah. Satu ring (cincin) yang disebut Tsunami Stand sudah terpasang di saluran darah menuju jantungnya. Saluran darah ini tersumbat oleh kerak, yang kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan merokok yang sudah tak dilakukan lagi 20 tahun lalu.

Betapa berbahayanya rokok... (tak heran jika sebagian orang bersikeras melarang rokok).

Bapak pulang, dan disambut makanan kupang dari Mbak Mus. Enak sekali. Mbak Mus adalah istri adik kandung Ibu, Bambang Priambodo.

Ada banyak cerita dan fakta selama Bapakku dirawat di rumah sakit yang sebenarnya bagus untuk ditulis sebagai kritik bagi dunia kedokteran. Tapi aku menghormati keinginan Bapak agar tidak menuliskannya, demi kebaikan semua orang.

Tapi suatu saat aku tetap akan menuliskannya. Entah kapan. Bisa satu tahun lagi atau bahkan 20 tahun lagi. Selama aku masih hidup dan menjadi wartawan yang meliput pelayanan publik, aku akan tetap akan menuliskannya suatu saat kelak.

Karena aku yakin itulah fungsi jurnalisme: mengingatkan semua orang, apapun harga yang harus dibayar. Termasuk harga untuk diriku sendiri. Ini sesuatu prinsip, dan prinsip itulah yang dulu diajarkan ayahku: mengatakan apapun yang dianggap benar, walau itu pahit. (*)

0 comments: