Rabu, 24 September 2008

MENGINGAT KEMBALI KEBERADAAN KITA

Sejarah, Kehormatan dan Keberadaan Makam
(Sebuah Catatan Pengantar )



Tantangan terbesar yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern adalah menghilangnya nilai-nilai identitas. Ini suatu proses yang alamiah, jika kita mampu mencermati realita yang ada.

Pertama, “menjadi modern” membawa konsekuensi semakin kaburnya batasan antar manusia. Manusia, tanpa membedakan suku, ras dan agama, bisa saling berkomunikasi tanpa hambatan apapun. Dalam hal ini orang sudah tak lagi memandang ikatan-ikatan tersebut. Orang dalam bermasyarakat, lebih memandang ikatan kepentinganlah yang paling sesuai.

- Kedua, keluarga sebagai ikatan emosional dan primordial yang terkecil mulai kehilangan fungsinya sebagai perekat. Ini bisa saja terjadi, jika antar anggota keluarga jarang saling berkomunikasi dan tidak memiliki persamaan pandangan. Jika kita menggunakan bahasa Islami, tali silaturrahmi yang renggang menyebabkan tak berfungsinya keluarga ini, tak terkecuali dalam sebuah keluarga besar.

Salah satu faktor utama yang menghapus ikatan primordial keluarga dalam hidup manusia, adalah mulai dilupakannya sejarah. Sebagian besar dari kita sudah mulai melupakan sejarah kita sendiri. Kerap kali kita menganggap remeh dan kesulitan untuk menjawab—pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti: “Siapakah kita?”, “Dari mana asal-usul kita?”, “Bagaimana kita ada?”, “Bagaimana kita dan keluarga kita dibesarkan?”.

Kita sering berpendapat bahwa masa lalu adalah sesuatu yang tak perlu dikenang, kecuali yang berkait langsung dengan kepentingan pribadi kita. Suatu pandangan yang naif bila mendasarkan semua pada kepentingan belaka. Akibatnya, kita tidak bisa menghargai apa arti perjuangan masa lalu, dan mulailah kita kehilangan salah satu nilai kemanusiaan dalam diri ini.

Banjarsari, suka atau tidak, adalah sejarah kita. Sengaja dilupakan atau tidak, ia adalah bagian dari hidup kita. Manusia tidak bisa lepas dari masa lalunya. Dan kita sekarang, salah satunya, dibentuk oleh masa lalu itu. Banjarsari ikut membentuk ikatan darah primordial kita, terlepas dari kita lahir di sini atau tidak. Juga terlepas dari kita pernah mengunjunginya atau tidak.

Ketika Kyai Muhammad bin Umar meretas keberadaan Banjarsari pertama kali pada 240 tahun yang lalu, mulailah cerita sejarah keluarga besar kita diguratkan. Berawal dari beliau menerima hadiah dari Kasultanan Mataram atas jasa beliau berhasil meredakan pembrontakan yang dilakukan oleh Pangeran Singosari (Malang). Hadiah tersebut berupa tanah yang harus dibabat sendiri oleh beliau. Lahirlah desa perdikan kecil ini, Banjarsari. Dari sinilah lahir sebuah keluarga besar dengan nilai-nilai identitas yang khas. Nilai-nilai identitas yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai moral luhur religius (keagamaan), yang diwariskan kepada anggota keluarganya secara turun-temurun. Nilai identitas ini adalah kekuatan mengakar, yang sadar atau tidak, banyak mempengaruhi perilaku hidup kita di masyarakat.

Kyai Muhammad bin Umar memang bukan sekedar pionir (pemrakarsa) fisik, tapi juga pionir spiritual. Beliau tidak hanya membangun tempat tinggal bagi kelompok masyarakatnya tetapi juga bagi masyarakat masa depan yang apik dan rapih. Tidak hanya memberikan warisan harta benda berupa desa Banjarsari saja. Lebih dari itu, beliau telah mewariskan Islam, agama yang tak ternilai harganya bagi kita semua, bekal menuju kampung akhirat.

Beliau membangun dan memberikan pondasi Agama Islam yang kita imani sekarang, dengan membangun Pondok Pesantren yang menampung ± 1000 orang santri. Nilai spiritual yang hingga kini tetap kita yakini sebagai jarum petunjuk arah langkah kehidupan kita. Nilai-nilai inilah yang terus hidup dan membesarkan generasi-generasi baru yang sedikit banyak ikut mewarnai sejarah perjalanan bangsa ini.

Kyai Muhammad bin Umar memang telah lama terkubur di bawah tanah. Beliau kini, mungkin, hanyalah sebuah nama masa lalu yang tenggelam di antara sekian nama besar dan nama baru. Makam beliau kini mengalami kerusakan berat dan nyaris tak terurus. Tragis, bila kita mengingat besarnya jasa beliau yang telah membuka/membabad hutan membangun sebuah desa Islami, desa perdikan Banjarsari.


Dan, suka atau tidak, juga mulai menghilang dari benak kita, cucu-cicit beliau. Ironis ! Akankah falsafah hidup “Mikul Dhuwur, Mendhem Jero” hilang ditelan kehidupan modern. Islam tidak mengajarkan demikian. Pada setiap selesai sholat kita disunnahkan mendoa bagi leluhur dan para syuhada, saudara se-agama dan se-iman.

Bung Karno pernah wanti-wanti agar selalu ingat sejarah. Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ucapan beliau benar adanya, karena tanpa itu, nilai-nilai identitas yang telah dengan susah payah dibangun dan diwariskan akan kehilangan maknanya. Sekian. (*)
Catatan : Sekarang Keadaan makam sudah cukup bagus rapi. ( mazwink)

KETEMU KANGMAS PUTRA PAK DE KAMAL

Jam 10.00 wib, aku buka blogku maunya ingin menambah tulisan. Alhamdulillah kotak pesan tertulis pesan baru, yang aku mengira sama sekali kalau beliau putra dari pak De Mohammad Kamal putro Eyang Guru.
Kakangmas Chandra, yang wajahnya baru saya lihat sekarang lewat foto.
Matur nuwun kangmas

Pak Kamal begitu kami memanggil Pak De, mengingatkan aku 40 tahun yang lalu. Saat itu aku masih SMA. Untuk menambah uang jajan, aku mencoba berternak ayam ras. Saat itu terjadi "pageblug" ayam. Pagi sakit sore mati. Kalau jaman sekarang mungkin dinamakan flu burung dan akan menggegerkan Depkes.

Pertengahan Romadhon pak Kamal " rawuh " dari Jogja. Beliau waktu itu "ngasto" sebagai dosen di FKH universitas Gajah Mada. Mengharap bisa memberikan advis solusi menghindar dari wabah penyakit ayam yang ganas aku minta advis kepada beliau.
Dengan entengnya beliau menjawab : " belehono kabeh ojo kok sisakne " maksudnya sebelih saja semua tanpa sisa, kalau perlu kandangnya dibakar. Aku kok terus ingat penanganan flu burung jaman sekarang yang memakai cara itu juga ( Bakar habis ).

Pak Kamal mestinya usianya sudah hampir 80 tahun. Sudah lebih 25 tahun saya tidak ketemu beliau. Dulu sih waktu mudanya pakKamal termasuk PENDEKAR ( Pendek Kekar ) tapi ngganteng.
Kapan ya bisa ketemu ? (*)

Sabtu, 20 September 2008

PERTANYAAN SEORANG GURU

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. ..
Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan.. ..

Pertama...
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab.... "orang tua", "guru", "teman", dan
"kerabatnya" ..
Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar...
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian".. ..
Sebab kematian adalah PASTI adanya....

Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua...
"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab... "negara Cina", "bulan", "matahari", dan
"bintang-bintang" ...
Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah
benar...
Tapi yang paling benar adalah "masa lalu"...
Siapa pun kita... bagaimana pun kita...dan betapa kayanya kita... tetap kita
TIDAK bisa kembali ke masa lalu...
Sebab itu kita harus menjaga hari ini... dan hari-hari yang akan datang..

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga...
"Apa yang paling besar di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab "gunung", "bumi", dan "matahari".. ..
Semua jawaban itu benar kata Sang Guru ...
Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu"...
Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya...
Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu duniawi ...
Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini... jangan sampai
nafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat)...

Pertanyaan keempat adalah...
"Apa yang paling berat di dunia ini...???"
Di antara muridnya ada yang menjawab... "baja", "besi", dan "gajah"...
"Semua jawaban hampir benar...", kata Sang Guru ..
tapi yang paling berat adalah "memegang amanah"...

Pertanyaan yang kelima adalah... "Apa yang paling ringan di dunia ini...???"
Ada yang menjawab "kapas", "angin", "debu", dan "daun-daunan" ...
"Semua itu benar...", kata Sang Guru...
tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "meninggalkan ibadah"...

Lalu pertanyaan keenam adalah...
"Apakah yang paling tajam di dunia ini...???"
Murid-muridnya menjawab dengan serentak... "PEDANG...!! !"
"(hampir) Benar...", kata Sang Guru
tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia"...
Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati... dan
melukai perasaan saudaranya sendiri...

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan KEMATIAN...? ??

senantiasa belajar dari MASA LALU...???

dan tidak memperturutkan NAFSU...???

Sudahkah kita mampu MENGEMBAN AMANAH sekecil apapun...???

dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH....?? ?

serta senantiasa MENJAGA LIDAH kita...???

Selasa, 16 September 2008

PAK PRIYATMOKO PUNYA CUCU


Kamis tanggal 4 September 2008 saya ditelepon oleh adinda Afifah Priyatmoko.Kalau Aan merasa akan melahirkan. "cepet dik dibawa ke RSB ", jawab istri saya . " Bu De saget ngancani aku", dengan sangat menyesal kami tidak dapat menemani keluarga Priyatmoko, karena kami akan ke Jember dan tiket sudah terbeli.

Jam 16.00 kami berangkat ke Jember. Dalam hati ada penyesalan kenapa kami tidak dapat ikut menemani mereka dalam keadaan perlu dukungan. Kami suruh Pipit dan Arif ke RSB Pura Raharjo menengok Aan.

Nampaknya kandungan Aan ada masalah sehingga harus dilakukan oprasi cesar. Ditangani oleh dr. Dian Agami Islam, SPog. lahirlah bayi perempuan mungil melengkapi keluarga besar kita


Pada : 5 September 2008
Jam : 19.30 wib
Berat badan : 3,5 kg.
Panjang : 50 cm
Kelihatan sangat bahagia ayahandanya Arif Khorul Anam maupun ibunya Rahma Prifianti Azizah.
Alun begitu mereka memanggil anak kesayangannya kependekan dari ALUNA KHAIRANI NUR ADZKIA, " embuh mas artinya opo " ? jawab dinda Afif waktu saya telepon siapa namanya. Konon artinya, "Cahaya Keindahan/ kebaikan di bulan yang suci".

Seperti laiknya cucu pertama keluarga Priyatmoko sangat bahagia menerima cucu pertamanya ini. Setiap keluar senyuman dari mulut mungil Aluna selalu difoto pakai HP nya. Aluna merupakan cucu pertama dari keluarga Aan maupun keluarga besar Arif. Terus cicit ke berapa ya untuk keluarga besar Poernomo ?. Siapa tahu ? Kirim kabar. OK ? Selamat untuk keluarga besar Priyatmoko semoga Alloh menjadikan anak yang sholehah. Amin (*)