Minggu, 21 Juni 2009

NAPAK TILAS EYANG MANGUNARSO OLEH IKBM SURABAYA


Salah satu garis keturunan eyang Mohammad Bin Umar yang hingga sekarang sangat intens dalam menjalin silaturahmi antar sesama famili, yang saya ketahui adalah dari trah eyang Mangoenarso II. Malah kumpulan famili ini telah tersebar di seluruh Indonesia dalam wadah IKATAN KELUARGA BESAR MANGUNARSAN. Dalam upaya merekatkan ikatan tali silaturahmi tersebut pada Agustus 1969 oleh Panitia Persiapan Trah Mangoenarsan telah dicetak buku Daftar Keturunan Ki Mangunarso II hingga saat ini masih digunakan rujukan kalau famili memerlukan penjelasan tentang famili.

Sekitar tahun 1975 (?) diadakan reuni akbar trah eyang Mangunarso di “dalem ageng” Balerejo rumah pusaka peninggalan eyang Mangunarso. Hadir saat itu famili-famili dari Jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Sala, Surabaya dan Madiun sebagai tuan rumah.

Untuk keakraban sekaligus napak tilas dan ziarah IKBM cabang Surabaya dipimpin oleh ketuanya Bapak Abdurrohim putro Eyang Suwandi akan mengadakan pertemuan di “ndalem ageng” Balerejo pada tanggal 27 s/d. 28 Juni 2009.

Insya Alloh silsilah Eyang Mangunarso akan saya tulis pada kesempatan mendatang.(*)

SEJARAH MASA LALU

Dari Sebuah Tanah Perdikan

Tahun 1762. Awalnya adalah cerita tentang kekalahan Sultan Hamengku Buwono II dari Mataram gagal memenangi peperangan melawan Prabu Joko , seorang adipati Singosari di Malang. Adipati Singosari sebenarnya masih sentono (adik kandung) Sultan Hamengku Buwono. Namun ia melawan. Dan bagi sebuah kerajaan besar seperti Mataram, sebuah kekalahan tidak bisa diterima.
Adalah Pangeran Ronggo, seorang adipati Madiun, yang ditugaskan oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk menemui seorang cerdik pandai dan bijak bestari: Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo. Kepada Kiai Muhammad Besari, Pangeran Ronggo menyampaikan pesan sang Sultan agar mau membantu di medan peperangan.

Sabtu, 20 Juni 2009

SILSILAH EYANG MUHAMMAD BIN UMAR

Kyai Muhammad Bin Umar adalah putra menantu dari Kyai Ageng Muhammad Besari, Tegalsari Ponorogo yang berputra sebilan orang yakni :
1. Nyai Abdulrohman
2. Kyai Ya’kub
3. Kyai Isma’il
4. Kyai Bukhori
5. Kyai Iskak, Coper,Kecamatan Jetis - Ponorogo
6. Kyai Kholifah
7. Kyai Ilyas
8. Nyai Muhammad Bin Umar dinikahi oleh Kyai Muhammad Bin Umar
9. Kyai Zaenal Abidin ( Sultan Selangor, Malaysia)
Catatan:
Kami sengaja tidak menguraikan keturunan dari putra/putri Kyai Muhammad Besari yang lain.

Setelah berhasi meredam pembrontakan di Singosari, Malang. Kyai Mohammad Bin Umar membuka lahan yang kelak dinamakan Banjarsari ( Baca kisah awal :Dari Sebuah Tanah Perdikan ). Dari sinilah beliau mulai meretas keberadaan desa Banjarsari dan mempunyai keturunan sebanyak delapan orang yakni
I. Nyai Ahmad Purwonganti
II. Kyai Ali Imron, Kyai Banjarsari ke 2
III. Kyai Belawi, Giripurno- Magetan
IV. Kyai Maulani, kyai Banjarsari ke 3
V. Kyai Muhammad Fakih
VI. Nyai Nawawi, Tawangrejo – Uteran
VII. Kyai Muhammad Muhyi
VIII. Nyai Ngaisah / Nyai Muhammad Besari

Catatan:
Selanjutnya angka romawi di atas saya pakai untuk angka kelompok untuk penulisan silsilah selanjutnya.Dan penulisan akan saya muat sesuai data yang ada pada saya.
Untuk kelengkapan data saya harap para famili dari keturunan Eyang Mohammad Bin Umar untuk membantu melengkapinya dengan mengirim data ke email saya :

KELOMPOK I :
Keturunan Nyai Ahmad Puwonganti mempunyai putra / putri 9 orang yakni :
1. Nyai Edris – Banjarsari
2. Ki Zaenal Mustofa
3. Ki Makhali
4. Nyi Musa – Sukasari
5. Ki Sulaiman
6. Nyi Imam Zaet
7. Ki Muhammad
8. Ki Sunget
9. Nyi Sakinah

KELOMPOK II :
Keturunan Kyai Ali Imron – Banjarsari mempunyai putra / putri 3 orang yakni :
1. Nyai Tabtazani – Keradinan – Ponorogo
2. Kyai Tafsir Anom I – Banjarsari
3. Kyai Musta’in – Nganjuk

KELOMPOK III:
Keturunan Kyai Baidhowi / Kyai Belawi – Banjarsari mempunyai putra / putri 7 orang yakni :
1. Kyai Imam Hidayat – Giripurno
2. Ki Abdul Latif - Kebonsari
3. Ki Zakaria – Siman , Ponorogo
4. Ki Munthohar – Ketawang
5. Ki Mustofa
6. Ki Ali Brahim
7. Ki Kasan Pura – Magetan

KELOMPOK IV :
Keturunan Kyai Maolani – Banjarsar mempunyai putra / putri 14 orang yakni :
1. Ki H. Sungep
2. Ki Jayadi I
3. Nyi H. Abdurrohman
4. Ki Dorahman – Mawatsari
5. Kyai Murtholo
6. Ki Suhada’
7. Ki Imam Rozi
8. Ki Mukmin
9. Ki Hasan Muntholif
10. Ki Admo Sudiro
11. Nyi Hasyim
12. Nyi Muhsin
13. Nyi Panji
14. Nyi Nurman.

KELOMPOK V :
Keturunan Ki Muhammad Fakih – Banjarsari mempunyai putra / putri 6 orang yakni :
1. Ki Muntohar
2. Ki Muhammad Sakeh
3. Ki Sakiran Kaliyoso
4. Nyi Muhammad Harun
5. Nyi “Dungbiru”
6. Ki Imam Iskandar

KELOMPOK VI :
Keturunan Ki Muhammad Nawawi – Bacem, mempunyai putra / putri 6 orang yakni :
1. Ki Joyo Dirjo
2. Nyi Rejosari
3. Nyi Imam Sundho
4. Nyi Lurah Mentaram
5. Ki/Nyi (?) Muntdholifah
6. Nyi Sunget

KELOMPOK VII :
Keturunan Ki Muhammad Muhyi, …………belum mendapatkan data

KELOMPOK VIII :
Keturunan Nyi Ngaisah / Nyi Akramuddin Bandungsari Kec. Wungu, mempunyai putra / putri 6 orang yakni :
1. Kyai Muhammad Ilyas – Sobrah
2. Nyi H. Masykur – Sobrah
3. Nyi Ahmad – Cirebon
4. Kyai Jamhuri
5. Kyai Ali Ashari – Sobrah.




Selasa, 16 Juni 2009

Pamanda Murbagio Meninggal Dunia

Inna lillahi wainna illaihi roji'un.
Setelah menderita sakit yang lama dan parah akhirnya pamanda Murbagio bin Kusen Hadikusumo meninggal pada hari Minggu tanngal 31 Mei 2009 jam sekitar jam 10.00 wib. Setelah cukup lama dirawat RS Dungus madiun, Sabtu malam beliau menginginkan pulang ke Banjarsari. Di hadapan semua putra putrinya akhirnya beliau pulang ke rakhmatullah pada usia78 tahun.
Setelah kepergian pamanda Murbagio tinggal pamanda M Sasongko ( di Malang ) dan pamanda Mursidi ( di Medan ) yang tinggal dari keturunan Eyang Kusen Hadikusumo.

Kamis, 28 Mei 2009

Pamanda Murbagio Sakit

Jam 17.00 dering di HP ku berbunyi,telepon dari adinda Priyatmoko di Jepara mengabarkan kalau pamanda Murbagio adik ibuku no 3 meninggal dunia. Ina lillahi wainna ilaihi roji'un, sepontan ucapan itu keluar dari mulutku. Aku siap-siap ke Banjarsari bersama istri.
Habis mahgrib telepon rumah berdering dari yunda Murtiningsih meralat berita kalau pamanda Murbagio belum meninggal. Kami berdua tetap berangkat ke Banjarsari, menengok pamanda yang dirawat di RS Dungus.
Satu hal yang tidak pernah saya lupa dari pamanku ini. Sampai dengan pensiun beliau tetap istikomah menjalan tugasnya sewaktu berdinas di DinKes Madiun, meski itu dilakoninya dengan mengayuh sepeda setiap hari.



Kamis, 19 Maret 2009

AKHIRNYA DATANG JUGA !

Belum lama aku duduk di cafe di bilangan Delta Plasa melepas lelah sehabis mencari kado Rara
( cucuku dari anak Kiki ) untuk Ultahnya yang ke 3, masuk SMS dari Adinda Edyanto yang lagi ada di Jakarta bahwa ananda Diyah Handaru insya Alloh akan menikah tanggal 27 Maret 2009.

Ada perasaan tersekat dalam dadaku.Haru. Belum lama perasaan itu saya rasakan juga saat ananda Jatmikowati menikah pada tanggal 9 Maret 2009. Rasa syukur yang tak terhingga. Ada rasa lega dalam dada ini.

Sejenak aku terkenang akan Yunda Nunuk Handaru almarhum.Senyumnya.Keceriannya.Aku ingat juga akan janjiku kalau aku akan hadir saat Diyah menikah nanti.
Tapi bisakah aku menghadiri pernikahan nanda Diyah ?. Aku rasanya belum pulih betul setelah operasi jantung bulan kemarin.

Untuk ananda Wati dan Diyah selamat atas pernikahan kalian semoga Alloh selalu paring "pranoto" yang terbaik bagi kalian. Amin.

Senin, 26 Januari 2009

Oryza Bercerita


Cerita tentang Waktu

Saya menghabiskan malam tahun baru di Rumah Sakit dr. Sutomo Surabaya. Tiduran di atas selembar tikar di sisi selasar rumah sakit, saya tengah menanti ayah saya yang baru saja dioperasi jantung.

Sore hari hujan deras. Malam, saat hujan reda, saya mendengar kegaduhan di jalan raya. Suara sepeda motor yang berkonvoi dengan saringan knalpot yang dicopot memekakkan telinga. Saya membayangkan asap tebal di jalanan. Suara terompet, lalu beberapa kali terdengar sirene mobil patroli polisi.

Tak ada yang berubah setiap malam pergantian tahun. Ritual yang itu-itu saja: meniup terompet, meletuskan petasan, berkonvoi keliling kota, kembang api. Perayaan tahun baru tak ubahnya ritual agama kebudayaan pop.

Waktu memang selalu misterius. Kita lega tahun berganti, waktu berubah, hitungan kembali dari angka satu bulan satu. Seolah tahun kemarin adalah beban, dan awal selalu dikaitkan dengan harapan yang diperbarui.

Waktu selalu misterius. Saat zaman belum menemukan angka, manusia hanya mengenal siang dan malam sebagai penanda pergantian waktu. Manusia hidup samadya saja.

Namun saat waktu diangkakan, hidup manusia seolah dipercepat dan digelisahkan oleh target-target, sasaran-sasaran. Hidup kita tak lebih dari angka-angka: tanggal lahir, bulan, tahun, jam, menit, detik. Kecepatan menjadi Tuhan baru. Apa yang cepat dianggap baik: lulus cepat, kerja cepat, proyek selesai lebih cepat. Mungkin hanya cepat tua yang tak diharapkan.

Kita hidup dalam waktu yang tergese-gesa. Bahkan kita terlampau tergesa hanya untuk menanti lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi hijau. Menanti 30 detik lampu merah rasanya berjam-jam.

Inilah kompetisi abad modern yang melampaui waktu. Hidup bersama waktu tak ubahnya hidup dalam sebuah olimpiade.

Lantas apakah yang akan menghentikan kita?

Kamis dinihari, 1 Januari 2009, saya dibangunkan oleh jeritan tangis perempuan. Masih pukul 01.32. Saya melihat seorang perempuan muda menangis hebat, dan tengah ditenangkan perempuan yang tampaknya lebih tua.

Saya mencerna: Ibu perempuan muda itu meninggal, setelah menjalani operasi jantung.

Beberapa orang yang tidur di lorong rumah sakit ikut terbangun. Tak ada yang bisa diperbuat. Perempuan muda itu pingsan.

Saya mendadak merasa kosong. Ketergesa-gesaan menjadi tak berarti. Saya teringat syair lagu kelompok musik kesukaan saya, Padi.

"Bukankah hidup hanya perhentian. Tak harus kencang terus berlari. kuhelakan nafas panjang tuk siap berlari kembali."

Selamat tahun baru 2009. (*)

0 comments:


04 January 2009

Bapak sudah Pulang ke Rumah

Bapakku sudah sehat lagi dan pulang ke rumah. Satu ring (cincin) yang disebut Tsunami Stand sudah terpasang di saluran darah menuju jantungnya. Saluran darah ini tersumbat oleh kerak, yang kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan merokok yang sudah tak dilakukan lagi 20 tahun lalu.

Betapa berbahayanya rokok... (tak heran jika sebagian orang bersikeras melarang rokok).

Bapak pulang, dan disambut makanan kupang dari Mbak Mus. Enak sekali. Mbak Mus adalah istri adik kandung Ibu, Bambang Priambodo.

Ada banyak cerita dan fakta selama Bapakku dirawat di rumah sakit yang sebenarnya bagus untuk ditulis sebagai kritik bagi dunia kedokteran. Tapi aku menghormati keinginan Bapak agar tidak menuliskannya, demi kebaikan semua orang.

Tapi suatu saat aku tetap akan menuliskannya. Entah kapan. Bisa satu tahun lagi atau bahkan 20 tahun lagi. Selama aku masih hidup dan menjadi wartawan yang meliput pelayanan publik, aku akan tetap akan menuliskannya suatu saat kelak.

Karena aku yakin itulah fungsi jurnalisme: mengingatkan semua orang, apapun harga yang harus dibayar. Termasuk harga untuk diriku sendiri. Ini sesuatu prinsip, dan prinsip itulah yang dulu diajarkan ayahku: mengatakan apapun yang dianggap benar, walau itu pahit. (*)

0 comments: